mempermainkan kata bukan sandiwara: Tentang waktu

Jumat, 09 Oktober 2009

Tentang waktu

Fakta menunjukkan akan sebuah kabar yang menyiarkan bahwa kian hari waktu kian cepat berlalu, tiada terasa perjalanannya. Apakah ini benar? TIDAK. Analisis sederhana akan fenomena di atas dituai lantaran keinginan manusia itu sendiri, ingin waktu berjalan dengan cepat. Manusia berlomba-lomba memikirkan masa depan, tanpa mengindahkan masa lalu dan sekarang. Bermunculanlah berjuta-juta perencanaan ke depan, dimana waktu seperti berlalu karena dikejar-kejar, tergesa-gesa. Waktu pun berjalan lebih cepat, seperti berlari mengejar rekor saja. Tiap hari punya target, harus lebih cepat dari hari sebelumnya. Merenunglah manusia karena ini...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ADA APA DENGAN NAMA GUE?

Sebelum membaca cerita ini, yakinlah bila:

1. Cerita yang mau lo baca ini bukanlah sebuah pendramatisiran tapi lebih kepada ungkapan perasaan cuy. Ingat itu!
2. Bila lo masih saja tak yakin, lebih baik jangan membaca karena gue nggak bertanggung jawab jika lo entar jadi penghujat, pencerca, pemaki yang sukanya memproduksi dosa dari mulut lo sendiri.
3. Ini cerita benar-benar nggak ada maksud buat nyakitin hati lo. Karena gue malah berharap lo bisa tertawa setelah baca ni cerita. Minimal senyum dikit ke’.
4. Pastiin kalau lo semua baca cerita ini sampe selesai baru komentar!!!

Fani. Nama yang kontroversial dari seorang lelaki yang tinggal di daerah pinggiran Kubu Raya yang berbatasan langsung dengan daerah Kota Pontianak. Lelaki yang sekarang tercatat sebagai seorang pelajar SMA Negeri 3 di Kota Pontianak. Kekontroversialannya bukan datang dari hal-hal negatif pergunjingan publik, tapi lebih kepada jenis kelamin penyandang nama itu. Pasti lo pada setuju kalo nama Fani merupakan nama yang lebih akrab bila terlabel pada seorang wanita bukan? Tapi, bagaimana bila nama itu tercantum pada ID card seorang lelaki? Tentu akan berbeda, sumpah! Disini gue yang juga seorang bernama Fani dari kasta pria tulen coba berbagi pengalaman tentang carut marut hidup gue selama ini. Inilah kisah gue.

“Dwi Anggraini.”
“Ada Pak.”
“Dwi Nanda Restuari.”
“Sakit Pak.”
“Eka Citra Prasetya.”
“Ke Paret Pak.”
“Bohong Pak!” Sahut siswa berkulit hitam besar gempal berambut ikal.
“Fani Yunata.”
“Saya Pak,” Jawab gue dengan lantang.
Pak Guru sesaat berhenti mengabsent kami, siswa-siswi kelas X yang baru saja mengeyam asiknya jadi anak SMA di tahun ajaran baru. Suasana kelas sejenak seperti kamar mayat, hening sangat. Sambil tertoleh-toleh ke arah buku absent dan sesekali membetulkan kacamata minus-nya, Guru itu mengajukan pernyataan polos penghancur hati kepada gue, “Bapak kira cewek.”
Perkataan Guru tadi memecah kesunyian kelas. Teman-teman satu perjuangan pada saat MOS 2 hari lalu sontak menjadi gaduh. Ada yang tertawa kecil, besar bahkan dengan jelas-jelas berbau penghinaan. Gue yang duduk di bangku yang terletak nyaris di pojok kelas hanya bisa menahan malu setengah hidup. Bibir gue tersenyum, hati gue menangis. Miris.
Pengalaman seperti itu sebenarnya sudah makanan wajib bagi gue. Apalagi pada saat tahun ajaran baru kayak gini. Hampir setiap Guru yang baru mengenal gue berkata seperti itu. Malang, namun itulah perjuangan. Saat masih jadi anak beringus di SD 32, gue sempat berpikir di sela-sela cercaan, makian dan hujatan manusia-manusia kerdil, mulai dari memodif nama panggilan dari Fani jadi Ata lah, Nata lah, sampai-sampai gue pernah berpikiran buat minta sama orang tua ngadain selamatan perubahan nama gue itu. “Namun tragis, sampai sekarang gue masih saja bergelut dengan nama ini,” Pikir gue pendek.
Lain lagi waktu gue bersekolah di SMP 10. Teman-teman gue kini lebih beringas ketimbang teman-teman satu ingus di SD gue dulu. Nama gue sepertinya menjadi kosa kata unggulan dari aksi-aksi kejahatan mulut-mulut beracun tikus. Serasa mau muntah. Mereka setiap harinya memojokkan gue sehingga terkadang gue terbawa emosi dan berbalik menghina mereka. Jujur, mulut gue pada saat itu bagaikan serum dengan bisa (racun) tingkat tinggi yang bisa mengeluarkan nanah busuk nan bau dari telinga lo. Hingga tak jarang mereka yang imannya kacangan, polongan, dan nanasan jadi terobsesi melucuti gue dengan bogem mentah meski syukur sampai sekarang tak pernah kesampean.
Salah satu masa disaat gue benar-benar malu memiliki nama Fani terjadi ketika gue berkenalan dengan seorang cewek melalui layanan pesan singkat. Suatu malam gue coba memulai ber sms-an ria pada tu cewek yang nomornya gue dapat dari teman dekat gue siang tadi. Dia bilang sih tu cewek bodinya kayak BCL gitu, makanya gue tertarik bro. Sambil makan gue kirim deh sms pertama, “Mlm, blh knalan?”. Terus cewek itu balas dengan gaya sms-an yang lagi gaul di kalangan anak muda setempat, “mLm Jg. bLh. gue KeSya. Nm kAmu SiaPa?” Membaca namanya saja, gue udah mikir macam-macam, “Kesya? Anjrit, bohong ni cewek!” Namun apa daya, mengingat temen gue udah bilang ni cewek bodinya kayak BCL, gue kekeh aja melanjutkan sms-an meski gue masih nggak percaya dengan tu nama. “Aku Fani. Slm knal. Gi ngpain Sya?”
Beberapa menit berlalu. Sms balasan belum kunjung gue terima. Tiba-tiba hp gue berdendang dan bergoyang dombret bret bret bret. Sms telah masuk. “rYrulaZ, Q tD Ru Dri BlKang. BysA BuAnG Air! U cewk aPa cwok?” Sialan ni cewek, etikanya kemana? Ditanyain lagi apa, eh malah dibalas dari belakang, pake nampilin kata “BUANG AIR” lagi. Sialan! Siapa coba yang nggak hilang nafsu makannya kalau sms-nya kayak gitu. Terus gue balas lagi dengan nada emosi, “COWOK 100% KONTROL KEPERJAKAAN NENG.” Selang beberapa saat, hujatan selanjutnya datang, “Q kRa CEWEK, HHa100x.” Bangsat!!! Tahu nggak, yang buat gue makin kesel? Teman gue besoknya nanya ma gue, “Lo tau nggak BCL tu apa?” Gue penasaran, “Apa?” Dengan tertawa terpingkal-pingkal dia jawab, “BAK CUCI LAKNAT!” Terus gue teriak, “Tittttttt (sensor).”
Mata gue malam itu memerah kayak abis makan sambal 1 kilo. Hp seakan ingin gue banting dan gue gigit pake ni gigi. Tapi apa daya ketika gue mengingat hp NOKIA 1600 ini dibeli dengan rupiah, bukan dengan daun bro. Mulut pun mejadi pelampiasan. Gue langsung aja berteriak sekuat-kuatnya (tapi dalam hati), “Kamprettttt!!!”
Masa SMP pun berakhir ketika pembagian rapor dan pemberitahuan hasil UAN. Alhamdulillah gue mendapat nilai yang tinggi dan bisa mendaftar di sebuah SMA unggulan yang letaknya tepat di samping SMP gue. Perasaan gue sehari mendingin mendengar pujian dari teman-teman yang dulu telah dengan telaknya menghancurkan gue, guru-guru dan pastinya dari kedua orang tua gue.
Kini, gue telah menginjak bangku SMA. Saat mendaftar gue sudah tahu bahwasanya beban berat telah menunggu gue dan nama gue. Gue yakin serigala-serigala penghujat kelas kakap udah nunggu gue jauh-jauh hari. Gue cuma bisa berdoa semoga gue tabah dengan segala bentuk pandangan miring yang akan muncul. Amin.
Perjalanan di SMA pun dimulai di kelas baru gue waktu itu. Kelas XC. Perkiraan gue tepat sekali. Guru-guru yang baru gue kenal kembali membuka gerbang-gerbang penghinaan pada gue. Hampir setiap hari di minggu pertama, teman-teman gue dengan mantapnya melecehkan gue dan nama gue. Senyuman balasan yang gue buat hanya sekedar tameng dari sebuah kesedihan satu dari sejumput lelaki yang menyandang nama Fani.
Beberapa minggu berlalu. Permasalahan baru muncul, setahu gue ada 3 nama yang nyaris sama dengan nama gue. Sebut saja Fany, Fanny, dan Fanny. 1 diantara sama seperti gue, lelaki tulen. Selebihnya cewek. Gue nggak tahu sih penyandang nama Fany (yang cowok) itu nasibnya kayak gimana. Kalau lebih baik dari gue, baguslah. Tapi kalau lebih parah dari gue, nyaman lo! Sejak saat itu, telinga gue dituntut mempunyai kelebihan baru selain mampu mendengar, tapi juga harus dapat membedakan kepada siapa panggilan Fani di peruntukkan. Salah salah, bisa hilang ini muka kalo ternyata yang dipanggil bukan gue tapi Fany/ny yang laen.
2 semester berlalu. Sekarang gue telah menjadi anak kelas XI dan keberuntungan telah membawa gue ke jurusan IPA yang penuh dengan teka-teki silang. Saat yang belum pernah gue pikirkan akhirnya tiba. Gue sekelas dengan seorang yang juga bernama Fani, tepatnya Fanny. Cewek berkulit putih dan kadang menggunakan kacamata pada waktu pelajaran berlangsung. Dia salah satu anggota tim basket putri SMAN 3. Tingginya kurang lebih sama kayak gue. Cantik sih, Hhe. Untungnya, nama gue yang berada di atas secara alfabetis membuat absent gue satu tingkat lebih tinggi. Gue 12, dia 13. Hanya ingin mengingatkan, 13 adalah salah satu angka yang angker dan melambangkan kesialan bagi sebagian orang. Gue heran banyak rumah, hotel, atau tempat-tempat lainnya pada nggak mau pake tu angka. Katro kan tu orang. Angker, sial. Itu DULU! Sumpah gue masih nggak habis pikir kalo di era globalisasi dan modernisasi kayak gini lo masih saja percaya dengan yang begituan. Maaf seribu maaf gue harus bilang, “Lo bodoh!” Yang begituan mah cuma mitos, kalau lo semua masih punya agama, jangan deh percaya yang seperti itu. Di uji bagaimanapun pake ilmu eksak non-eksak mah tetap nggak ada benarnya. Suer!
Singkat cerita, kami yang namanya sama sepertinya tak mau kalah satu sama lain. Diantara kami seperti terjadi perang dingin demi memperebutkan kursi utama pemilik nama Fani/ny di kelas. Wajah kita saling bergantian menoreh malu ketika teman-teman yang memanggil ternyata bukan memanggil salah satu dari kita, tapi pesaing kita. Nyakitkan hati. Keanehan lainpun terjadi. Gue sempat dipanggil Yuyun (dari nama belakang gue,“Yunata”) buat ngebedain gue sama dia. Gue benci dengan tu nama. Tiap ada yang manggil gue pake tu nama, gue mah nggak nyahut-nyahut, sok tuli gitu ceritanya (tapi jangan kesampean deh, amin). Gue nggak nyahut lantaran tu nama kan bukan nama gue. Buat apa gue nyahut? Belum lagi ada oknum-oknum penjahat yang sengaja memanfaatkan kesempatan. Mereka memanggil disaat gue dan Fanny lagi ada dalam posisi yang berdekatan. Saat kami berdua menoleh, dia hanya memberikan senyuman khas seorang penghina. Sialan nggak? Pinginnya sih ngelaporin tu orang ke polisi atas kasus penghinaan berencana, tapi gue urungin lantaran setelah gue pikir-pikir itu masalah nggak tepat di bawa ke polisi, tapi lebih tepatnya gue bawa ke Mak Erot, biar diurut dan dibenerin tu mulut. Tapi satu yang gue tangkap dari peristiwa itu, gue nggak sadar ko’ gue malah jadi bangga ya dengan nama Fani?
Ngomong-ngomong soal polisi tadi, gue jadi ingat sama seorang pilisi yang bertugas dalam urusan pembuatan SIM. Suatu hari gue ijin sekolah untuk pergi membuat SIM di Poltabes Pontianak. Pas kesana bawaannya seram. Bukan karena takut ditangkap akibat kasus pencotekan berjamaah baru-baru ini, tapi lebih karena imej sebuah kantor polisi yang lebih ditakuti ketimbang disenangi. Mulai dari penjahat kelas ikan hiu sampai penjahat kelas ikan cucut bergelimpangan masuk ke sana setiap harinya.
Setelah ber jam-jam menunggu, akhirnya prosedur pembuatan SIM itupun dimulai. Yang pertama test teori dan kemudian praktek. Seusai test praktek gue kembali dihadapkan kepada suatu pekerjaan yang paling dibenci manusia seluruh dunia, jagat raya malah, yaitu menunggu. Saat menunggu, gue berpikir ada yang nggak beres ni dalam proses pembuatan SIM. Mengapa? Karena gue pikir semua prosedur yang di jalani tampaknya hanya formalitas belaka. Secara mereka yang tidak lulus salah satu test pun toh akhirnya bisa mendapat SIM juga. Termasuk gue yang juga harus jadi pecundang saat test praktek. Entah salah gue atau motor gue. Pas test praktek, gue yang matanya juga nggak rabun kukkuruyuk (maksudnya rabun ayam) malah nabrak pembatas jalan yang di buat Om Polisi. Singkatnya, gue gagal!
Akhirnya tiba giliran gue. Gue kemudian disuruh masuk ke sebuah ruangan yang sesak, pengap dan sedikit remang-remang. Disana gue didata terus difoto. Polisi yang bertugas mendata waktu itu tidak melihat gue yang berada di sampingnya, tapi pandangannya tertuju ke arah komputer di depannya sambil berkata-kata pada gue. Saat dia berpaling ke arah gue, dia berkata,”Oh Cowok.” Apa nggak makin panas ini hati. Setelah gue senyumin, cepat-cepat dia mengganti kata wanita menjadi pria di pojok kanan atas bawah dikit tepat diatas sidik jari gue. Gue cuma berpikir kalo tu polisi adalah seorang otoriter yang terkadang mengeluarkan kebijakan-kebijakan buta. Termasuk dengan mengetikkan kata wanita pada bakal calon SIM gue. Sok-sok-an banget kan ni orang?
Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu. Gue pingin lupain deh kenangan-kenangan buruk tempo hari dari Guru-guru, teman-teman, si Kesya alias pemilik bodi BCL (Bak Cuci Laknat) dan dengan si Om polisi yang udah berjasa ngebuatin SIM gue. Seiring dengan berjalannya waktu, gue akhirnya dapat bersahabat dengan nama gue. Di usia gue yang hampir menginjak 17 tahun, sudah saatnya gue berpikir positif dan menerima segala kekurangan dengan kelapangan di dada. Perjalanan gue dan nama gue masih panjang dan baru dimulai dari sekarang. Gue dengan segenap kerendahan hati akan menerima dengan ikhlas nama yang udah orang tua gue berikan. Orang memang banyak yang bilang, “Apalah arti dari sebuah nama?” Terus gue jawab dengan mantap, “Berarti banget bro.” Sebuah nama lahir dari bibir-bibir orang tua yang telah setia merawat kita sejak di dalam rahim sampe lo bisa baca ni cerita. Janganlah memandang nama dari arti kosa katanya, tapi lebih kepada perjuangan dan pengorbanan orang tua yang telah membesarkan kita. Terakhir pesan gue, “Hargailah namamu sebagaimana kau menghargai nyawamu.” Salam damai!

SEKIAN
oleh: Fani Yunata

mempermainkan kata bukan sandiwara

Jumat, 09 Oktober 2009

Tentang waktu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Facebook

Pengikut

Arsip Blog

ADA APA DENGAN NAMA GUE?